Dalam Pancasila terkandung banyak nilai-nilai (values). Misalnya, dalam sila pertama terdapat nilai religi dan nilai ketauhidan. Dalam sila kedua terdapat nilai humanitas, nilai keadilan, dan nilai keadaban. Dalam sila ketiga terdapat nilai kesatuan, nilai persatuan, serta nilai kebhinnekaan atau diversitas. Dalam sila keempat terdapat nilai (pro) populisme, nilai kearifan, nilai musyawarah, nilai demokrasi, dan nilai agensi. Dalam sila kelima terdapat nilai keadilan sosial, nilai kesejahteraan (welfare), nilai pelayanan, serta nilai inklusifisme.
Namun demikian kerap kali orang (tergoda atau tergiring) untuk hanya memandang Pancasila sebagai suatu kumpulan nilai-nilai yang terpisah satu sama lain. Atau nilai-nilai itu hanya bersifat suatu rangkaian-linier nilai-nilai seperti mata-mata rantai pada suatu kalung.
Pemahaman yang lebih mendekati kebenaran ialah Pancasila itu merupakan suatu struktur nilai (value structure atau value system) yang integratif serta koheren yang mempunyai ciri khas milik bangsa Indonesia (ke-Indonesia-an).
Misalnya, dalam Pancasila itu nilai religi bukanlah religi yang eksklusif melainkan religi yang mempunyai nuansa, nafas, dan berkebudayaan serta nasionalitas Indonesia yang inklusif. Bukan Ketuhanan yang bernafaskan kultur bule, mongoloid, semitik, atau padang pasir. Bukan pula Ketuhanan yang hanya bernapaskan nilai-nilai kejawen, pasundan, kaharingan, katingan dsb. semata-mata.
Nilai demokrasi bukan demokrasi barat murni atau demokrasi panggung entah lenong atau ketoprak. Melainkan demokrasi yang berketuhanan dan berperikemanusiaan. Sehingga tidak pantas dalam acara demokrasi dipertontonkan acara adu jotos di gedung parlemen atau acara hujan interupsi – bahkan kepada Kepala Negara sendiri. Ini sama sekali bukan ciri demokrasi yang beradab, berperikemanusiaan, ataupun yang arif berhikmat. Anggota parelemen Taiwan atau Thailand boleh saja adu jotos di gedung parlemen, tetapi demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang berkebudayaan dan beradab, maka orang beradab mampu mengatur emosinya dan tidak adu jotos di sdiang parlemen.
Pancasila juga bukan milik tunggal siapapun. Termasuk bukan milik Orde tertentu yang sedang berkuasa sehingga merasa paling berhak untuk mendikte penafsiran tunggalnya kepada seluruh rakyat. Pancasila bahkan bukan milik Sukarno pribadi atau keturunannya saja. Pancasila memang digali oleh Sukarno – thanks God for that – tetapi sudah dipersembahkan kepada dan kini menjadi milik bangsa Indonesia seluruhnya.
Pancasila secara intrinsik memiliki nilai keterbukaan dan nilai dinamika hidup. Sehingga penafsiran terhadap Pancasila harus terbuka bagi siapa saja, kapan saja, dan pada tingkat intelektual manapun. Pancasila harus tetap menjadi ideologi yang terbuka.
Mengapa? Karena Pancasila juga merupakan “Way of Life” dari pada rakyat bangsa kita ini. Asalkan – dan sepanjang – nilai-nilai Pancasila ditafsirkan secara integratif, sistemik dan koheren maka rakyat berhak untuk mempunyai tafsirannya masing-masing tanpa pemaksaan apapun oleh pihak penguasa.
Pendidikan Moral Pancasila tidaklah harus dipaksakan lewat pola Penataran P4 di masa lampau sebagai satu-satunya cara. Akan lebih sempurna justru bila nilai-nilai moral dasar yang terkandung dalam Pancasila – di samping nilai-nilai moral dasar lainnya – dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan terutama dalam Sistem Pendidikan Nasional lewat peneladanan nyata para pendidiknya.